Wednesday, June 10, 2009

Birahi Istri Part 2

ADEGAN RINDU
Bagi Diana berjalannya waktu terasa begitu lambat. Tak henti ia menghitung hari, menantikan kedatangan Gunadi. Sering hatinya merasa gelisah, memikirkan bagaimana kabar pemuda itu. Hanyut dalam jalinan rasa asmara dan birahi, Diana sering menyesali kenapa selama ini tidak punya keberanian untuk memberi Gunadi apa yang dimintanya. Maka iapun bertekad untuk memenuhi semua keinginan Gunadi nanti. Demikian pula halnya dengan Gunadi, yang sedang berkumpul dengan keluarga di desanya. Wajah Diana selalu terbayang-bayang olehnya, dan rasa rindu membuatnya ingin segera kembali ke Jakarta. Karena yakin nanti akan ber'satu tubuh' dengan Diana, iapun menyiapkan dirinya. Gunadi pergi ke desa tetangga, ke tempat seorang dukun pijat ternama yang biasa menangani calon pengantin. Itu semua masih dilengkapinya lagi dengan menenggak ramuan jamu tradisional khusus lelaki, supaya siap pada waktunya. Minimal ada rasa percaya diri.
Belum lagi sepuluh hari di kampungnya Gunadi sudah pamit kepada orang-tuanya. Alasannya karena ada tugas sekolah yang harus ia kerjakan, karena hasilnya nanti akan ikut menentukan nilai rapotnya. Maka berangkatlah Gunadi dengan restu kedua orang-tuanya. Tidak sabar ia ingin segera tiba di tempat tujuannya, di mana kekasih hatinya sedang menanti-nantikan kedatangannya. Pasti Diana sudah merindukan kedatangannya. Bukankah itu kesan yang ia tangkap ketika ia menelponnya dari War-Tel?
Hari masih subuh ketika kendaraan bis yang ditumpanginya memasuki kota metropolitan, sehingga tidak sampai satu jam kemudian iapun telah memasuki halaman rumah Diana. Suasana masih sangat sepi, maka iapun memutuskan untuk lebih dahulu beristirahat. Setelah mandi dan sarapan pagi barulah diketahuinya bahwa tuan rumahnya sedang bertugas ke Medan. Ah kalau tahu begitu sudah dari tadi ia naik ke kamar tidur Diana.
Sementara sedang meredakan rasa penyesalannya, tiba-tiba seseorang menyuruhnya keatas, karena Diana memanggilnya. Bergegas ia naik dan memasuki kamar tidur Diana. Dilihatnya Diana sedang duduk menyisir rambutnya di depan meja rias. Begitu melihat Gunadi wanita itu tersenyum dan mengembangkan kedua tangannya. Ditariknya Gunadi mendekat dan dipeluknya pinggangnya erat-erat, sambil menempelkan kepalanya di dada laki-laki muda itu. Gunadipun balas memeluk dan mengelus-elus rambutnya. Tetapi di luar perkiraan Diana bukan segera mengajaknya bercinta, sebagaimana diharapkan Gunadi. Ia malah minta di antar kesalah-satu pusat perbelanjaan yang jaraknya agak jauh. Gunadi merasa sedikit kesal, tapi diikutinya juga kemauan Diana.
Dengan wajah agak merengut Gunadi duduk di kursi depan, mendampingi Diana yang menyetir mobilnya sendiri. Setibanya di tempat perbelanjaan hati Gunadi agak terhibur, karena Diana bukan hanya berbelanja untuk kebutuhannya sendiri, melainkan kebutuhan Gunadi juga. Memang bukan barang-barang yang berharga mahal, akan tetapi perhatiannya membuat hati Gunadi senang.
Menjelang senja baru mereka meninggalkan Mall perbelanjaan itu dan kembalike rumah. Di luar dugaan jalanan pada waktu itu agak padat, juga karena turunnya hujan yang agak deras. Gunadi banyak berdiam diri, hingga membuat Diana merasa heran, bahkan juga kuatir. Untuk memastikan dimintanya Gunadi memijati tengkuk lehernya. Gunadi mengikuti permintaannya. Ternyata akibatnya Gunadi sendiri berubah menjadi binal. "Saya juga dipijat dong," … katanya kepada Daissy. "Ya susah dong, kan aku lagi nyetir" ... "Satu tangan 'kan juga bisa, jalannya lagi pelan ini" ... "Iya deh, ... Sini aku pijetin?" Gunadi menarik tangan kiri Diana dan ditaruhnya di atas bagian celananya yang menggelembung. ... "Udah keras nih" ... "Ih bandelnya." Beberapa saat setelah meremas-remasnya lembut, Diana jadi terangsang. Dia minta melihat 'barang kepunyaan'Gunadi itu. Laki-laki itu setuju saja dan menyuruh Daissy untuk membuka 'rutslijting'-nya. Setelah dicoba-coba ternyata 'rutslijting' celana Gunadi agak tersangkut, sehingga tidak bisa terbuka semua. "Kok nggak bisa, ... Ih bikin aku gemes." Entah maksudnya gemas terhadap 'rutslijting'-nya atau karena sudah ingin memegang 'pusaka kejantanan' Gunadi. Pemuda itu tertawa menggoda, lalu membuka 'rutslijting' celananya. Dikeluarkannya isi celananya itu, ... Ternyata memang sudah mengeras tegak. Tangan Diana langsung menyambar dan kemudian mengelus-elusnya. Sambil meremas 'ujung kepalanya' yang bulat keras Diana berkata, "Ih besarnya hampir kayak itu." Maksudnya seperti bonggol bundaran pada tongkat persneling. "Kangen nggak?" ... "Kangen dong" ... "Suka ya" ... "Hm, suka sekali" ... "Kalau suka dicium dong." Diana menoleh kaget, tampaknya ia keberatan. Dalam keadaan yang semakin panas dan ganas Gunadi tidak mau perduli lagi, bahkan sikapnya agak setengah memaksa. Pada waktu lampu merah di sebuah perapatan jalan terlihat menyala ditariknya kepala Diana, hingga tersandar di dadanya, lalu didorongnya ke bawah. Diana tidak bisa menghindar lagi. 'Kemaluan' Gunadi sekarang berkilat mencuat tepat didepan wajahnya. Langsung dikecup-kecup dan diciuminya. Atas permintaan Gunadi kemudian dijilati dan dikulum-kulumnya. Beberapa kali Gunadi meminta Diana mengulangi 'layanan cinta kilat'-nya sampai akhirnya ia mau mendengarkan permohonan Diana untuk bersabar. Sambil merapihkan celananya ia berbisik, … "Nanti malam saya mau nagih janji lho." Diana hanya diam saja dan pura-pura tidak mendengarnya. Ia merasa sedikit gamang.

ADEGAN RANJANG
Ketika malam telah semakin larut, dan keadaan di seluruh rumah terasa senyap, Gunadi menuju kekamar tidur Diana. Dengan hati-hati dibuka pintu kamar dan melangkah masuk mendekati ranjang peraduan, yang malam itu ia harap akan menjadi 'ranjang pengantin'-nya. Dilihatnya Diana berbaring di sana dalam keadaan yang sangat menggugah rasa kelaki-lakiannya.
Gunadi duduk di tepi pembaringan dan membiarkan Diana merangkul pinggangnya. Ditatapnya wanita, yang beberapa bulan terakhir ini telah menjadi kekasihnya, lalu bertanya, … "Sekarang kan?' Mengetahui apa yang dimaksud pemuda itu Diana berkata membalas, … "Kalau nggak sekarang, ... kamu marah nggak?" Lalu melihat pandangan heran Gunadi, disambungnya lagi. "Aku takut, ... belum siap." Ternyata justru pada menit-menit, menjelang adegan percintaannya dengan Gunadi, rasa kuatir kembali memenuhi hati Diana. Tapi nampaknya Gunadi sudah tidak mau mundur lagi. Dengan gaya yang sudah terlatih baik ia mulai membangkitkan gairah Diana, supaya dapat menyamai gairahnya sendiri. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, keduanya telah berdiri di sisi pembaringan, ... saling melucuti pakaian yang mereka kenakan. Seperti orang yang sudah kehausan cinta Diana menciumi dada dan pundak Gunadi, lalu bersimpuh di depannya, mengikuti tangan Gunadi yang menekan pundaknya turun. Dengan satu tangannya ia memeluk paha Gunadi, dan dengan tangan lainnya digenggamnya 'batang kemaluan'-nya yang telah bangkit. Penampilannya yang besar, tegang dan keras itu membuat nafas Diana tersengal-sengal. Tanpa diminta ia mulai menciumi, menjilati, dan mengemut-emut 'barang kepunyaan' Gunadi. Menurut perasaannya 'pusaka andalan' Gunadi itu tampak lebih hebat dari sebelum-sebelumnya.
Sesaat setelah menerima sambutan cinta yang hangat itu, Gunadi menuntun Diana keatas ranjang dan membaringkannya di sana. "Gunadi, yang aku janjikan satu saat nanti pasti aku kasih, ... tapi jangan sekarang ya." Gunadi hanya diam saja dan terus mengarahkan kemaluannya kearah mulut Diana. Begitu 'ujung kepala kemaluan'-nya itu berada di antara bibir Diana, mulailah Gunadi mengayunkan pinggulnya dengan lembut. 'Batang keras'-nya bergerak keluar-masuk mulut wanita itu. Merasa agak lega Diana meneruskan 'layanan cinta'-nya, barangkali berharap Gunadi terlupa atas apa yang telah dijanjikan kepadanya.
Ternyata Diana salah mengira, karena Gunadi kemudian beranjak dan mulai mengarahkan senjatanya kearah 'gerbang kewanitaan' Diana. "Gunadi, jangan sekarang dong" ..., Diana sekali memohon. Selain itu Diana tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Ketika Gunadi menggesek-gesekkan 'batang keras'-nya ke 'bibir kemaluan' Diana, sekali lagi ia berusaha menawar. "Diusap-usapin aja ya sayang ..." demikian katanya. "Hemh," Gunadi menggumam seakan menyetujui permintaan Diana. Rupanya gesekan nikmat pada bibir kemaluannya membuat Diana lengah, ... tiba-tiba Gunadi mendorong kedua pahanya hingga terbuka lebar. "Gunadi," … Diana menjerit tertahan ... "Aduh, Gunadi, aduh," … Rasanya perih karena Gunadi terlalu keras mendorong masuk 'barang kepunyaan'-nya. Ternyata dengan semua persiapan yang telah ia lakukan, masih terbatas juga kelihaiannya sebagai perjaka, terutama dalam melakukan 'penetrasi'-nya. Gunadi melambatkan gerakannya, tapi tidak dicabutnya lagi 'batang kemaluan'-nya. Akhirnya tercapai juga apa yang sudah lama ia inginkan, ketika seluruh 'kepunyaan'-nya berhasil memasuki kedalaman 'kemaluan' Diana.
Rasa perih yang semula dirasa Diana berangsur-angsur berganti menjadi rasa geli yang membawa nikmat. Barangkali kalau sekarang Gunadi mencabut 'alat kejantanan'-nya, justru Diana yang akan memintanya untuk meneruskan. Entah karena kejantanan Gunadi, atau barangkali karena kerinduan di hati Diana selama ditinggal kekasihnya itu, dalam waktu yang tidak terlalu lama ia mencapai titik klimaksnya. Bukan lagi erangan yang ia perdengarkan, tetapi bahkan jeritan tertahan yang ia suarakan. Kenikmatan yang ia rasakan pada waktu itu memang tidak ada bandingannya. Jauh melebihi apa yang pernah ia terima dari usapan jari dan tangan Gunadi, dan juga melebihi apa yang pernah ia alami dengan laki-laki lainnya. Tetapi yang membuatnya semakin kagum ternyata tubuh Gunadi yang menindihnya masih bergerak turun-naik, karena 'barang kepunyaan'-nya masih keras seperti semula. Maka Diana kembali menyesuaikan gerakan tubuhnya, supaya dapat mengimbangi ketangguhan Gunadi.
Ketika ia merasa sudah semakin mendekati puncak kenikmatan yang kedua-kalinya, diingatkannya Gunadi agar jangan mengeluarkan 'air mani'-nya di dalam liang rahim Diana. Gunadi tampak mengiyakan permintaan Diana, walaupun ternyata bukan itu yang akhirnya ia lakukan. Sewaktu sekali lagi Diana memasuki puncak kenikmatannya, Gunadi juga tiba di ujung perjalanan senggamanya. Sulit bagi Diana untuk mengendalikan apapun, ... ia tidak mampu untuk mencegah apapun yang akan dilakukan Gunadi. Laki-laki itu dengan sengaja semakin mendorong masuk 'batang kejantanan'-nya, dan memompakan seluruh 'cairan kental'-nya kedalam tubuh Diana. Maka tanpa memperdulikan apa-apa lagi kedua insan itu sama-sama mengerang panjang, dan berpelukan erat, dengan perasaan yang berpadu menyatu. Tanggal sudah keperjakaan Gunadi, di umurnya yang ke sembilan belas tahun.
Setelah semuanya usai Diana dan Gunadi pergi kekamar mandi untuk membersihkan diri, lalu kembali kepembaringan. Diana bertanya kepada Gunadi apakah ia menyesal, karena sekarang sudah bukan perjaka lagi. Menurut Gunadi kalau mengalaminya dengan orang yang disayangi kenapa harus menyesal. Lalu Gunadi balik bertanya ... apakah Diana menyesal sudah ia setubuhi. Diana hanya menggeleng lemah. Setelah itu Diana juga sempat menegur Gunadi, sebab ceroboh melepas 'air mani'-nya di dalam 'liang kemaluan' Diana. Janji Gunadi untuk bertanggung-jawab, kalau memang jadi, membuat bulu kuduk Diana berdiri. Tapi mengingat kebahagiaan Gunadi pada malam itu, Diana tidak ingin merusak suasana manis yang sudah tercipta di antara mereka. Pikirnya biarlah Gunadi belajar memahami tentang realitas hidup nanti.
"Sekarang masih takut nggak?" … Pertanyaan Gunadi menggugah Diana yang sebetulnya sudah hampir terlelap. "Ya masih dong," … Jawab Diana pendek. Dengan heran Gunadi bertanya, "Lho takut apa lagi?" Sambil mengerling nakal Diana menjelaskan, "Takut ketagihan." Tanpa disangkanya jawabannya itu membuat Gunadi merasa senang, hingga pemuda itu tergerak untuk memeluk tubuhnya dengan mesra. Bahkan akhirnya menjadi terangsang kembali, hingga 'batang kemaluan'-nya kembali mengeras. Akibatnya terpaksa Diana sekali lagi melayani keperkasaan pemuda yang seakan-akan tidak mengenal lelah itu. Kali inipun ia merasakan kepuasan yang merasuk dalam, walaupun tidak sehebat yang sebelumnya. Tanpa menolak lagi dibiarkannya Gunadi memompakan 'cairan kental'-nya di 'bagian dalam kewanitaan'-nya. Belum terpikir oleh Diana bagaimana ia mencegah kemungkinan hamil. Di benaknya yang terpenting saat itu adalah bagaimana ia dapat memuaskan Gunadi, termasuk di antaranya juga memuaskan khayalan-khayalan lugunya.
Setelah senggama yang kedua itu Gunadi dan Diana terlelap tidur. Tetapi menjelang subuh, ketika Diana membangunkannya, Gunadi minta dilayani lagi. Ternyata ia masih ingin sekali lagi menyalurkan gelora birahi dan dorongan asmaranya. Barangkali karena masih agak mengantuk, atau mungkin juga sesuai dengan corak pergaulannya yang asli, caranya mengisyaratkan terkesan agak rendahan. "Main lagi yuk!" … demikian pemuda itu mengajak Diana. Sebetulnya Diana merasa sangat lelah, tetapi karena melihat 'barang kepunyaan' Gunadi sudah berdiri tegak disambutnya juga ajakannya. Sekali lagi keperkasaan pemuda berbadan kurus itu membuat Diana takjub dan terheran-heran. Keras dan kuatnya 'batang kemaluan' Gunadi bukan hanya telah mampu untuk menggugahnya bangun, melainkan juga membawanya kepuncak kenikmatan senggamanya lagi. Namun berbeda dengan sebelumnya tubuh Diana yang memang sangat letih seolah-olah telah kehilangan kendali rasanya. Akibatnya walaupun 'orgasme' yang dicapai tidak sehebat seperti sebelumnya, kelangsungannya begitu panjang tanpa dapat ditahan-tahan, hingga dikiranya tidak akan pernah berakhir. Padahal dengan 'batang kejantanan'-nya yang cukup keras itu Gunadi masih bergerak turun-naik di atas tubuhnya. Secara aneh rasa geli yang membawa nikmat itu dialaminya juga sebagai derita. Bangga Gunadi mendengar Diana merintih memohon-mohon, … "Ampun, aduh, ampun ... Udah sayang, udah ... ampun, aku nggak tahan." Bahkan setelah Gunadi menyemburkan 'cairan kental'-nya, rasa geli yang dialami Diana tidak serta merta berakhir. Untuk beberapa saat 'batang kejantanan' Gunadi masih tetap menegang keras. Apa lagi walaupun ia berteriak-teriak meminta ampun, seakan-akan Gunadi tidak mau perduli dan terus saja meng'genjot'nya. Masih sempat Gunadi berucap, … "Nah puas nggak kamu sekarang?"
Setelah itu walaupun tubuhnya terkulai lemah, dan rasa mengantuk semakin merasuk dirinya, Diana masih sempat memuji Gunadi. "Kamu hebat sekali." Dengan nada menggoda Gunadi bertanya, … "Siapa yang paling hebat?" Sambil merangkulnya Diana berbisik lemah, "Kamu ..."
Demikianlah adegan di ranjang percintaan yang berlangsung di malam itu. Karena terlalu lelahnya Gunadi dan Diana bangun terlalu siang, sehingga sempat menimbulkan bisik-bisik pergunjingan. Apalagi Diana kemudian juga memerintahkan supaya kain seprei tempat tidurnya dilepas dan segera dicuci. Pada sore harinya, dugaan mereka yang curiga bertambah, kala tanpa sengaja salah-seorang pembantunya mendengar Diana berbicara di telpon dengan kawannya. Katanya, … "Orangnya kurus, barangnya besar banget! Sampai terkapar ogut tiga kali dia garap! Nggak kehitung deh berapa kali ogut orgasme!"

ADEGAN SIANG
Karena terkesan oleh pengalamannya yang pertama itu, sebenarnya Gunadi ingin segera mengulang lagi. Bukan hanya keesokan harinya, akan tetapi juga pada hari-hari berikutnya. Tetapi keadaan Diana,dan kesibukannya sehari-hari, memaksanya untuk menahan diri. Sampai akhirnya kurang-lebih lima hari setelah malam pertamanya dengan Diana dilihatnya sebuah peluang. Waktu itu sudah menjelang tengah hari, ia baru saja mandi dan sedang bersiap-siap untuk berangkat kesekolah. Tiba-tiba disadarinya betapa keadaan di sekitar rumah sangat sepi, padahal dari apa yang ia tahu biasanya pada saat-saat seperti ini mungkin Diana sedang berada di kamarnya. Maka naiklah ia menuju kekamar Diana, lalu membuka pintu dan masuk, sambil langsung mengunci pintunya. Seperti apa yang ia duga Diana masih berada di depan meja rias dan sedang menyisir rambutnya. Nampaknya ia baru saja mandi, karena bau wangi masih tercium memenuhi ruangan. Kelihatannya uga ia sedang bersiap-siap akan pergi untuk menghadiri acara di luar. Melihat itu Gunadi merasa celananya menjadi sesak, oleh sebab sesuatu yang mengeras di dalamnya.
Senyuman Diana terlihat menyambutnya, menurut Gunadi mengundang sekali. "Mau sekolah ya?" Diana bertanya kepadanya. "Iya, tapi ada lagi yang saya mauin," … jawab Gunadi dengan nada bergairah. Kemudian berlanjutlah pembicaraan mesra di antara keduanya. "Yaaa ... jangan sekarang dong, aku kan mau pergi" ... "Kalau nggak sekarang kapan lagi, waktunya kan susah, sebentar aja deh" ... "Orang kayak kamu mana bisa sebentar" ... "Emangnya mau kemana sih?" ... "Janjian sama teman-teman sekolah dulu, perempuan semua lho" ... "Lebih penting daripada saya ya" ... "Jangan egois ah, kayak anak kecil aja."
Rupanya kemudian Gunadi merubah cara pendekatannya. Diurut dan dipijatinya tengkuk Diana. Biasanya pendekatan seperti ini akan meluluhkan hati perempuan itu, dan malah dapat langsung membangkitkan gairahnya. Diberinya tanda kepada Diana, yang dengan tanggap mulai mengelus-elus kerasnya 'sesuatu' di balik celana pemuda itu. Diana menggelengkan kepala, "Jangan sekarang ya" ... "Tapi maunya sekarang" ... "Cukup diusap-usap aja kan?" ... "Nggak ah, maunya semua," … demikian proses tawar-menawar itu berlangsung. Untuk menghibur hati Gunadi dengan hati-hati Diana menerima 'barang kepunyaan' Gunadi di tangannya. Rupanya Gunadi mengeluarkan 'alat kejantanan'-nya itu dari celah 'ruitslijting'nya yang sudah ia turunkan. Diana melakukannya tanpa rasa segan sama-sekali. Lalu entah mendapat pelajaran dari mana, .... Gunadi pindah ke belakang Diana, dan ... mengurut-urut tengkuk Diana dengan 'ujung kepala kejantanan'nya. Mau tidak mau Dianapun mulai merasa terangsang, apalagi ketika Gunadi mulai menanggalkan bajunya dengan alasan panas. Sementara itu proses tawar menawar di antara mereka masih berlangsung. "Ayo dong, kalau nggak sama kamu saya harus minta sama siapa lagi," … demikian Gunadi terus meminta dengan gigih. Lama kelamaan pemaksaan dengan nada sayang semacam itu tentunya menjadi tidak tertahankan lagi untuk Diana. Akhirnya dimintanya Gunadi untuk berbaring di tempat tidur. Ia menyarankan supaya Gunadi jangan terlalu aktif, maksudnya supaya tidak sampai merusak dandanan rambutnya.Gunadi setuju saja asal kepadanya diberi pemuas dahaga cinta jasmani yang ia inginkan.
Diana menanggalkan kaos singlet dan celana dalam Gunadi yang masih ia kenakan. Ia siap untuk melaksanakan tugasnya dan menyenangkan orang yang selama ini telah mampu untuk menggairahkan dirinya. Tapi sebelum itu dihubunginya teman-temannya dengan telepon tangannya untuk memberi-tahu bahwa ia akan terlambat. Kebetulan salah-satu kawannya cenderung sering berbicara seronok. Berdebar-debar dan keringat dingin ia mendengar suara yang bercanda mempermainkan dirinya. "Eh elo lagi ngelaki ya?" ... "Ah nggak, dia kan lagi di kantor" ... "Ya kali aja sama lakinya orang, ayo ngaku ajalah, kedengaran tuh nafasnya" ... "Ngaco ah, udah ya sampai nanti." Melihat Gunadi yang memandangnya dengan tatapan heran, Diana menenangkan dirinya dengan menjelaskan tentang temannya yang suka sekali bercanda.
Sementara itu 'barang kepunyaan' Gunadi masih tetap berdiri tegak, keras dan besar, karena diremas-remas tangan Diana. Seperti mengerti tiba-tiba Gunadi bertanya, … "Maunya di atas ya"? Ketika Diana menganggukkan kepalanya, ia menyambung pertanyaannya dengan kata-kata, … "Kalau begitu senengnya didongkrak dong." Diana tersenyum simpul, "Ah kamu."
Gunadi meraih pundak Diana dan mengelus-elusnya, tanda ia meminta agar 'layanan cinta'-nya segera dimulai. Dengan sangat berhati-hati Diana menciumi sekujur tubuh laki-laki itu. Semuanya itu dilakukan Diana dengan berurut, mulai dari wajah, leher, lengan, pundak, dada, perut, selangkangan, pahanya, dan seterusnya. Setelah puas ia kembali ke celah paha Gunadi dan mulai memuaskan 'barang kepunyaan' pemuda itu. Seperti yang sudah-sudah kecupan, jilatan, kuluman, dan emutan yang ia lakukan membuat Gunadi sampai memejam-mejamkan matanya. Keduanya sudah betul-betul terlanda gairah rangsangan jasmani yang menyala-nyala. Mungkin perasaan dibutuhkan telah ikut memacu rasa birahi Diana juga, sebagaimana perasaan di-prioritas-kan juga kiranya telah mengobarkan nafsu kelelakian Gunadi.
Beberapa saat kemudian Diana berkata lirih, … "Gunadi, aku udah basah." Gunadi kemudian menarik kedua tangan Diana, dan memintanya duduk di atas selangkangannya. Maka bila ia membuka celah pahanya, 'kepunyaan' Gunadi akan dapat memasuki 'kemaluan'-nya. Pada saat 'penetrasi' terjadi wajah Diana tampak meringis. Dari rintihan suaranya tampaknya ia kesakitan. Tapi karena sudah bertekad untuk memuaskan Gunadi ditahannya perih yang dirasanya. Setelah kepunyaan Gunadi itu tiba di tujuannya, mulailah keduanya menggoyang pinggul. Saat itu rasa sakit yang semula dirasa Diana sudah berganti menjadi geli yang membawa nikmat. "Aduh mas enak sekali," … berkali-kali ia memuji Gunadi, hingga membuat laki-laki itu semakin bersemangat. Dorongan nafsu birahi Gunadi meningkat cepat dan membangkitkan keganasannya. Tangannya meremas-remas pinggang dan buah-dada Diana. Sesekali diemut-emutnya puting susunya sehingga membuat Diana menjerit-jerit kecil. Dalam waktu yang tidak terlalu lama Diana mencapai puncak kepuasannya, sementara 'alat kejantanan' Gunadi yang masih tangguh terus merambah memenuhi 'rongga kewanitaan'nya. Tubuh Diana terlonjak dan mengejang, dari mulutnya keluar jeritan tertahan, yang terus berlanjut dengan erangan panjang dan desisan nafas pertanda nikmat.
Kemudian sambil membersihkan 'kepunyaan'-nya sendiri, dan setelah itu 'kepunyaan' Gunadi, ia menyatakan pujian kagumnya kepada pemuda itu. Takut dikira sudah akan mengakhiri Gunadi berkata mengingatkan, … "Tapi saya belum lho." Diana menghela nafas panjang dan hanya mampu menanggapi, … "Ampun ... ampun ..., enak sih enak, tapi kalau begini aku kewalahan deh." Setelah membiarkannya beristirahat sejenak Gunadi meminta Diana untuk melanjutkan 'pelayanan'-nya kembali. Kali ini juga dari atas, tetapi dimintanya agar Diana melakukannya dengan membelakangi wajahnya. Gunadi semakin terangsang karena sekarang ia dapat melihat saat-saat ketika 'barang kepunyaan'nya mulai memasuki gerbang kewanitaan Diana. Begitu pula yang terjadi pada diri Diana, ketika melihat pemandangan yang serupa terpantul di cermin meja rias. Sekali lagi mereka bergoyang pinggul, mulanya dengan lambat, kemudian semakin cepat. Tubuh keduanya sudah basah oleh keringat dan nafasnyapun sama-sama tersengal-sengal. Sekali inipun kembali Diana mencapai klimaksnya lebih dahulu. Tubuhnya mengejang, tegak menjulang, setelah itu jatuh menelungkup ke depan di atas betis Gunadi. Entah bagaimana ditariknya salah-satu kaki Gunadi ke arah wajahnya, lalu dijilati dan diemut-emutnya jempol kakinya. Gunadi menjerit kaget dan juga senang. Apa yang dilakukan Diana itu mempercepat gelora rangsangan Gunadi. Sambil memegangi kedua bokong Diana dipacunya gerakan 'batang keras'-nya di dalam 'kemaluan' wanita itu. Dengan tanpa henti gerakan mendorong itu ia lakukan hingga akhirnya diapun mencapai puncak kepuasannya. Dari 'batang kemaluan'-nya menyembur 'cairan kental putih,' menyirami setiap sudut rongga kemaluan Diana, dari mana sebagian juga mengalir keluar membasahi celah pahanya sendiri. Sejenak mereka terbaring sambil saling mengelus-elus sayang. Setelah itu keduanya bergegas kekamar mandi untuk membersihkan diri, lalu sama-sama mengenakan pakaian mereka kembali.
Sebagai atasan dan bawahan mereka berpisah di gerbang depan rumah. Masing-masing dengan tujuan yang berbeda, akan tetapi dengan kesegaran rasa yang sama. Pada waktu itu terlihat oleh yang memperhatikan bahwa pada mata mereka berdua menyiratkan sinar kebahagiaan.

ADEGAN KAWIN
Sebetulnya Gunadi ingin lebih sering dapat melangsungkan adegan cintanya dengan Diana, bahkan kalau bisa setiap hari. Namun apa daya, situasi dan kondisi tidak selalu memungkinkannya untuk dapat berduaan setiap saat bersama Diana. Hal ini seringkali mengakibatkan timbulnya rasa kesal dan frustrasi, bahkan kadangkala hingga membuatnya sulit belajar. Sebetulnya bukannya Diana tidak menyadari akan hal itu, karena iapun juga menginginkan hal yang sama, tetapi iapun memiliki keterbatasan-keterbatasannya. Akhirnya setelah cukup lama belum juga ada kesempatan yang dapat mereka gunakan, terpaksa Diana mencari jalan lain. Ia minta ijin kepada yang berhak memberi, supaya diperbolehkan menginap di rumah orang tuanya. Lalu berangkatlah ia ke sana membawa 'momongan' dan seorang pembantu wanita, dengan diantar oleh seorang supir. Diajaknya juga Gunadi dengan alasan supaya dapat membantu di sana. Setibanya di sana ia mengatur sedemikian rupa sehingga ia tidur sendirian, di sebuah kamar yang dulu pernah menjadi pengantinnya, sedangkan Gunadi ditempatkannya di ruang tamu depan.
Ketika malam sudah sangat larut Gunadi pindah kekamar tidur Diana dan menaiki ranjang pengantin wanita itu. Diana tertawa melihat Gunadi mencopot sebuah foto berukuran besar, yang selama ini dipajang di dinding, dan menaruhnya di atas lemari. Setelah itu masih sempat Gunadi bercanda, katanya, … "Kalau di antara kita berdua yang piaraan yang mana ya?" Dengan seenaknya Diana menjawab , … "Ya sama-sama piaraan, sama-sama yang miara deh!" Gunadi melirik Diana, lalu dengan iseng berkata, … "Kalau boleh gantian begitu sekarang kamu yang jadi piaraan ya! Sementara Diana memandanginya heran, Gunadi beranjak menjauh, berlutut di atas tempat tidur dan melorot celana dalamnya turun. Diana mulai mengerti waktu Gunadi memegang kepalanya dan menariknya mendekat. "Sini, ngerangkak kesini," … katanya, "Ada daging untuk piaraan saya." "Sialan," … Diana mengumpat dalam hati, … "Kalau itu sih hewan piaraan." Menurut Diana bercandanya Gunadi kali ini agak keliwatan, tapi entah bagaimana dia sendiri juga merasa makin terangsang. Akhirnya Diana merangkak hingga posisinya berada tepat di depan selangkangan Gunadi. 'Barang kepunyaan' Gunadi mencuat tepat di depan wajahnya. Diana mulai mengecup-ngecup 'batang kemaluan' Gunadi, lalu menjilati seluruhnya, mulai dari 'ujung kepala'nya hingga ke 'buah zakar'nya. Masih sempat Gunadi bertanya, … "Gimana? Senang nggak jadi piaraan?" Dengan nafas tersengal-sengal Diana hanya menjawab, … "Ya senang dong kalau dikasih makan ini."
Selanjutnya di kamar itulah mereka berdua menumpahkan kerinduan yang sudah cukup lama tidak tersalurkan. Mungkin bersenggama di kamar yang dulu menjadi kamar pengantin Diana, di rumah orang tuanya, menimbulkan kesan khusus bagi Gunadi. Bukan tidak mungkin bahwa pada malam itu ia merasa sungguh-sungguh menjadi suami Diana dan Dianapun menjadi istri satu-satunya. Diana juga puas bersenggama di ranjang pernikahannya dulu, karena membuatnya merasa sangat bergairah. Apalagi dengan terus-terang, walau agak malu-malu, Gunadi sempat berkata, … "Rasanya seperti kamu istri saya, dan saya yang jadi suami kamu!" Pada waktu itu Diana senang saja diperlakukan bagaimanapun, karena dalam perasaannya memang Gunadi adalah seorang laki-laki yang layak untuk dilayani hasratnya seakan suami.
Baik Diana maupun Gunadi merasakan bahwa apa yang mereka berdua alami merupakan sesuatu yang sangat indah. Kekuatan Gunadi pada malam itu seakan-akan tidak habis-habis, sehingga Diana merasa sangat terpuaskan. Berkali-kali Gunadi menaiki dan memasuki dirinya, setiap kali hingga memberinya kenikmatan 'orgasme' yang luar biasa. Pada malam itu Diana hingga kelelahan karena berulang-ulang menikmati puncak kenikmatan senggamanya. Entah bagaimana tanpa sadar Diana sampai mengoyak salah-satu sarung bantal, di tengah berlangsungnya hubungan cinta mereka.
Setelah berjam-jam memadu kasih barulah mereka menyadari betapa basahnya seluruh seprei ranjang yang mereka tiduri, baik oleh keringat yang terkuras dari tubuh mereka maupun dari cairan 'air mani' Gunadi. Dengan cerdiknya Diana menumpahkan secangkir air kopi ke atas seprei tersebut, supaya ada alasan untuk mencucinya tanpa membangkitkan kecurigaan siapapun. Tindakan ini kemudian menjadi salah-satu kode di antara Gunadi dan Diana. Kalau salah-satu di antara mereka ingin mengajak bersetubuh isyaratnya, … "Numpahin kopi yuk."

ADEGAN NAFSU
Dua minggu kemudian kembali Diana membawa rombongan yang sama ke luar kota, dengan alasan ingin beristirahat di sebuah villa penginapan milik saudaranya. Dalam kendaraan Kijang Panther yang mereka tumpangi Diana duduk di bangku belakang, sedangkan Gunadi di bagasi belakang bersama barang-barang yang dibawa. Di tengah perjalanan tiba-tiba Diana meminta agar Gunadi memijati tengkuk dan kedua pundaknya. Tidak berapa lama kemudian ia meminta supaya pergelangan tangannya juga dipijati, karena terasa agak pegal. Untuk memudahkan bagi Gunadi dipindahnya tangan kanannya itu kebelakang, di mana Gunadi duduk, melintasi jok kursi belakang. Ternyata Gunadi bukan hanya memijati tangan majikannya, malah dengan nakalnya dituntunnya tangan Diana ke selangkangannya. Lalu dengan dibantu tangan Diana dibukanya 'rutslijting' celananya dan dikeluarkannya 'barang kepunyaan'nya yang ternyata sudah mulai agak keras. Beberapa saat setelah dielus-elus dan dikocok-kocok tangan Diana 'kelelakian' Gunadi menjadi sangat keras. Tanpa sadar Diana mengeluh dan memejamkan matanya. Hal ini sempat membangkitkan rasa curiga di hati supir pengemudi kendaraan dan pembantu wanita, yang juga duduk di bangku depan. Tapi mereka berdua hanya dapat saling bertatapan mata saja, tanpa dapat berbuat apapun. Mengikuti bisikan lembut Gunadi di telinganya Diana menjulurkan bagian atas tubuhnya kebelakang, berpura-pura mencari sesuatu di salah-satu tas kopor yang ada. Dalam kesempatan itulah dengan segala kenekadannya Diana mengecup dan dengan cepat mengulum 'tonggak kejantanan' Gunadi, hingga pemuda itu menggelinjang kegelian. Baik Diana maupun Gunadi sudah begitu 'kasmaran' sampai-sampai mereka kehilangan rasa takut ataupun malu.
Selanjutnya menjelang sore tibalah mereka di tempat yang dituju, dan langsung menuju kesalah-satu bungalow yang akan mereka tempati. Anehnya Gunadi sendiri ditempatkan Diana di bagian lain, yaitu di salah-satu kamar pada bangunan yang berbeda. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi yang terjadi, hingga hampir tengah malam. Sementara menunggu waktu Diana sempat beramah-tamah dengan beberapa staf hotel tersebut. Pada waktu itu kebetulan ada seorang pemuda bernama yang menarik perhatiannya, karena keramahan dan keakrabannya.
Setelah keadaan betul-betul senyap Diana terlihat keluar meninggalkan bungalownya. Ia hanya mengenakan busana panjang seperti daster dan berjalan dengan penuh kehati-hatian. Selalu dipilihnya bagian-bagian yang terlindung dari sinar cahaya lampu, barangkali supaya tidak terpergoki oleh orang lain. Tapi karena sempat tersesat Diana terpaksa bertanya kepada seorang karyawan SatPam, atau resepsionis, yang sedang bertugas jaga malam itu. Tanpa maksud apa-apa karyawan tersebut memberi-tahu Rianto tentang Diana yang sedang mencari kamar di mana Gunadi tidur. Ketika itu pemuda, yang siang tadi menyambutnya, sedang berjalan menuju mess karyawan.
Kembali kepada Diana, begitu ditemukannya pintu kamar Gunadi, dengan segera ia menyelinap masuk. Tidak disadarinya bahwa jendela kaca nako kamar Gunadi, yang menghadap kearah taman itu, sangat mudah untuk dikuakkan dari bagian luar. "Hallo," … Diana menyapa Gunadi yang sedang terlentang di pembaringan dengan hanya mengenakan sehelai celana dalam. Gunadi hanya berdiam diri, tidak bergeser dari posisinya. Kedua lengannya membentang lebar, sedangkan kedua telapak tangannya menopang kepalanya yang terpaling ke arah dinding. Diana langsung berlutut di tepi pembaringan, seperti orang ketakutan yang memohon belas kasihan. "Sorry ya aku telat" ... lalu sambungnya bertanya ... "Marah ya?" Gunadi hanya menjawab singkat dan pendek, … "Ah nggak, bosen aja nungguin." Dengan sedikit was-was Diana mengusap-usap dada Gunadi. Melihat Gunadi dalam keadaan kesal Diana jadi kuatir juga. Terutama takut kalau tidak jadi diberi 'nafkah batin'-nya. Sengaja dia duduk dilantai dan mulai merayu Gunadi, supaya suasana seperti siang tadi dapat kembali pulih.
Dengan lembut Diana bertanya, … "Kok nggak pakai baju, udah kangen ya." Dengan nada sedikit acuh Gunadi hanya menjawab, … "Ah udaranya aja yang panas." Tapi lama kelamaan agak menyesal juga Gunadi kenapa harus merasa kesal atau bergengsi, ... tapi nasi sudah menjadi bubur. Maka terpaksalah mereka berdua memulai pembicaraan seadanya, demi menghilangkan rasa canggung yang masih terasa. Gunadi bertanya, … "Sebetulnya saya kamu anggap apa sih" ... "Kok masih nanya, kan udah pernah tidur di kamar pengantin." … lalu tanya Gunadi lagi, … "Kamu pernah takut ketahuan nggak?" … "Pernah juga sih" ... "Kok berani nerusin" ... "Abis baru sekarang aku ngerasain enaknya kawin, baru sama kamu sekarang bisa ngalamin puas." Jawaban Diana ternyata tepat dan jitu, terbukti salah-satu tangan Gunadi lalu menarik tangan Diana. Pemuda itu berkata, … "INI-nya nih udah lama nungguin." Tangan Diana mengusap-usap gelembung di celana dalam Gunadi, lalu menyelusup masuk kedalamnya. Remasan tangan Diana membuat kepunyaan Gunadi menjadi sangat keras. "Yang tadi siang dilanjutin dong" ... "Iya, tapi minta bantalnya dulu, lantainya kan dingin." Setelah itu Diana menarik celana dalam Gunadi kebawah dan menimang-nimang 'barang'nya yang sangat ia sukai itu, lalu menciumnya dengan lembut. Sementara Diana menjilati dan mengulum-ngulum kepunyaannya Gunadi melepaskan daster Diana, disusul dengan melepas BH-nya.
Setelah merasa puas dijilati Gunadi lalu mengajak Diana untuk naik keatas pembaringan. Ditelentangkannya wanita itu dan dilepasnya celana dalamnya, lalu diusap-usapnya 'bibir kemaluan'nya yang sudah agak basah itu. Nafas Diana tersengal-sengal dan desis rintihannya membuat Gunadi semakin terangsant. Tiba-tiba Gunadi beranjak naik, lalu mengangkangi wajah Diana di antara kedua pahanya. Dengan pandangan bernafsu Diana menyambut 'kepunyaan' Gunadi yang teracung di atas wajahnya. Dengan lembut dijilati dan dikecup-kecupnya. "Emutin, emut," … terdengar suara Gunadi meminta. Segera Diana mematuhi kemauannya dan mulai mengatur nafasnya, supaya tidak terselak pada waktu Gunadi mulai maju-mundur menggerakkan kepunyaannya di mulutnya. Tetapi beberapa saat kemudian Diana agak meronta-ronta, dan begitu ada peluang langsung mengeluarkan 'daging keras' yang sedang diemutinya. "Pelan-pelan Yang, aku kan nggak bisa nafas." … keluh Diana. Gunadi hanya tertawa kecil dan mulai melambatkan gerakan pinggulnya.
Setelah puas iapun bergerak turun kebawah dan mulai mengarahkan 'daging hidup'-nya ke bibir kemaluan Diana. Begitu Gunadi mendorongnya masuk terdengar suara desis dan rintihan Diana. "Aduh besar sekali, pelan-pelan Yang." Dengan penuh semangat dan hati gembira Gunadi meneruskan 'penetrasi'-nya. Mulailah keduanya memasuki jalan kenikmatan umat manusia yang paling dahsyat itu. Diana betul-betul menikmati keberadaannya di bawah tubuh Gunadi yang sedang menindihnya. Dengan sepenuh hati diikutinya getaran kenikmatan yang mengalir lembut di sekujur tubuhnya. Hingga akhirnya aliran lembut tersebut berubah menjadi gelombang kepuasan yang melanda tubuhnya. Diana mengejang kencang dan mengelinjang kekanan-kekiri, lalu gerakan pinggulnya bertambah keras membuat Gunadi kegelian. Dengan meneriakkan nama Diana ia mencapai puncak kepuasannya dan memompakan semburan-semburan hangatnya di liang rahim wanita itu. Lama mereka berdua berpelukan tanpa mengatakan apa-apa. Suasana malam itu terasa indah bagi mereka berdua. Masih sekali atau dua kali lagi mereka mengulangi adegan percintaan yang menjadi dambaan setiap anak manusia itu. Walaupun Diana merasa lelah dengan senang-hati ia menyambut hadirnya sebagian diri Gunadi di dalam dirinya. Kali inipun kegagahan kekasih mudanya itu membuatnya sangat terpuaskan. Pada malam itu Gunadi menungganginya dengan gagah, seolah-olah daya tenaga dan 'air mani'-nya tidak ada habis-habisnya.
Malang bagi Diana karena dalam senggama yang kedua di malam itu Gunadi belum mencapai klimaksnya. Maka setelah membiarkan Diana beristirahat sejenak, ia minta dilayani sekali lagi. Sia-sia Diana memohon untuk diperbolehkan pergi, tapi semua alasan yang dikemukakannya ditolak Gunadi. Walaupun Diana sampai memohon-mohon sama-sekali tidak didapatnya pengertian atau belas-kasihan dari Gunadi. Menurut laki-laki itu peluang waktu mereka tidaklah mudah, maka kalau tidak sekarang kapan lagi. Sewaktu Diana mengemukakan alasan bahwa ia takut ketahuan orang kalau terlalu lama berada di kamar Gunadi, dengan berpura-pura tersinggung laki-laki itu bertanya, … "Kamu malu ya ngakuin saya?" Mendengar itu terpaksa Diana menyerah dan sekali lagi melayani kemauan Gunadi.
Namun rupanya cerita asmara di malam yang dingin itu bukannya tanpa resiko. Terutama sebagai akibat kenekadan Diana dan ke'iseng'an Gunadi juga. Karena rupanya gerak-gerik kedua insan itu telah membangkitkan rasa curiga pada seseorang. Ketika sedang berjalan menuju kamarnya Diana dikejutkan oleh suara seorang laki-laki menyampaikan selamat pagi. Sambil membalas salamnya segera ia memasuki kamarnya.

No comments:

Post a Comment