Wednesday, June 10, 2009

Aku Bingung Harus Pilih Yang Mana ?

Percintaanku dengan Sulasmi pelajar kelas 3 SMP sudah berjalan hampir setahun. Itulah yang tidak habis dalam benakku sampai sekarang. Duh, untung saja tidak sampai hamil dan seandainya hamil pupus sudah cita-citaku dan mungkin tidak seperti sekarang ini. Ekonomiku relatif baik, seorang isteri yang bekerja sebagai perawat, satu anak dan aku sendiri seorang karyawan swasta dikotaku Semarang. Aku memiliki seorang baby siter umurnya 19 tahun, dan dia ternyata naksir berat sama aku. Bila istriku dinas malam pasti dialah yang akan menemaniku di ranjang, kami bertempur habis-habisan 3 sampai 4 kali. Sempat kasusku ini masuk koran lokal, dimana anakku dilarikan baby siterku karena minta di kawin olehku, ampun deh. Nanti bagian aku ceritakan tersendiri.

Aku sangat akrab dengan teman-teman kosku, dapat ditebak aku lebih dekat dengan mbak Srini seorang guru SD, usianya terbilang jauh denganku yang saat itu berusia 16 tahun dan dia 26 tahun. Mbak Srini berasal dari kota Klaten, berambut sedikit keriting sebatas bahu dengan tinggi sekitar 160-an, postur tubuhnya biasa dan warna kulitnya menandakan orang Jawa asli berwarna sawo matang, coklat kekuningan berbeda dengan Lasmi coklat kehitaman. Apalagi tempiknya, setelah aku gosok-gosok dengan tanganku dan tongkolku mungkin membantu mempercepat hormon kewanitaannya, rambut tempiknya semakin lebat ha…ha…

Suatu malam, aku ingat waktu itu aku habis menyetubuhi Lasmi aku tidak bisa tidur padahal hujan turun dengan derasnya. Mustahil malam-malam begini apalagi hujan deras aku ketok jendela Lasmi, bisa-bisa berabe. Lalu aku keluar kamar, hanya bercelana dalam, berkaos oblong dibalut kain sarung iseng aku berjalan di samping rumah.

Jam menunjukkan pukul 10.30 saat aku berada di samping jendela kamar mbak Srini, lampu kamarnya masih menyala. Ada celah di jendela kamarnya, kamar kami semua dari kayu hanya kamar depan yang menghadap kejalan dari nako.

Iseng aku mengintip, ah tertutup kain korden. Mataku jelalatan dalam keremangan lampu samping yang hanya 5 watt, mataku menemukan sapu lidi. Aku ambil sebatang dan pelan aku masukkan dan aku sibak dengan sangat pelan sekali, moga-moga ada sesuatu yang menarik terjadi dalam kamar.

Saat aku berhasil menyibak kain korden tampak mbak Srini dengan tidur terlentang dengan rok tersibak keatas tanpa celana dalam sambil membaca sebuah novel sambil memasukkan sebuah benda kedalam liang tempiknya. Astaga, akutahu benda itu sebuah pisang ambon yang di balut dengan sebuah kondom. Ukuran pisang Ambon itu lumayan besar, lebih besar pisangnya.

Belahan kakinya tepat berada dijendela dimana aku mengintip, dan wajahnya tertutup novel yang dibacanya. Kakinya sesekali menggapai tepian ranjang yang terbuuat dari besi. Hampir setengahnya pisang itu meslesat masuk kedalam vaginanya.

Tampak dadanya membusung dan dari balik kaos yang
dikenakannya payudaranya naik-turun tidak teratur. Mbak Srini terobsesi oleh bacaan novel yang dibacanya. Berkali-kali pantatnya naik turun dan dengan cepat tangannya memaju-mundurkan pisang berlapis kondom ditangannya. Pasti pisang itu akan segera matang, tidak perlu pemanasan lewat pengarbitan dan ditanggung manis alami he…he… demikian candaku pada diriku sendiri.

Asyik juga, selama 20 menit hal itu berlangsung. Sprei bagian pantatnya sudah awut-awutan dan basah oleh cairan yang keluar dari tempiknya. Aduh…mana tahan dong, Mr ‘P’ sudah berdiri apalagi hanya bercelana dalam, so bebas berkeliaran.

Malam sudah mendekati larut, aku toleh kanan dan kiri sepi, aku dengan bersandar di tembok rumah Lasmi celana dalam dan sarungku aku lepas. tongkolku yang sudah ereksi habis aku pencet pangkalnya dengan tangan kiriku dan tangan kananku mengocok batang dan kepalanya.

“Hhhhh….”

Aku tidak tahu mbak Srini saat itu sudah mencapai orgasme dan meletakkan bacaannya di sampingnya sambil mengatur napasnya yang memburu melihat kain kordennya bergoyang karena tanpa sadar akibat dorongan birahiku aku lepaskan begitu saja lidi yang aku pegang.

Bersamaan mbak Srini membuka jendela kamarnya dengan pelan dan nyaris tanpa suara aku memejamkan mataku membayangkan penglihatanku tadi sambil mengocok tongkolku tepat berada didepan jendela kamar mbak Srini yang terbuka berlahan.

Mbak Srini menahan napas manakala dilihatnya aku sedang mengocok tongkolku menghadap kearahnya dengan tongkol yang ereksi habis, begaian kepalanya bulat berkilatan di terpa cahaya lampu kamarnya dan mengeluarkan cairan bening tanda birahi.

“Sssstttt….”

Aku mendesis dan tidak sadar mbak Srini sudah menikmati pemandangan nikmat dan dengan kedua mata terbelalak tertuju kepada kepala tongkolku. Apalagi petang tadi sudah diasah di vagina Lasmi so tampak memerah berkilatan. Bak sebuah kepala gada aku mencondongkan pantatku kedepan dengan wajah menengadah keatas dan mata terpejam. Karena dorongan birahi di tambah petang tadi aku sudah orgasme dua kali sehingga mengalami sedikit kesulitan mencapai orgasme aku pelan terdorong kedepan dan saat aku mendekati puncak orgasme aku sudah mendekat kejendela dan itu tidak aku sadarai, suerr…

“Ahh…!”

Aku terkejut bukan kepalang saat terasa kepala tongkolku sperti ada yang melahap, sialnya saat tepat sekali airmaniku mau muncrat, mataku terbelalak.Ya ampun…. Mbak Srini sudah melahap tongkolku dan dengan cepat dia menjulurkan lebih keluar kepalanya dan denga kedua tangannya menarik pantatku, menyedot dengan kuat tongkolku yang melesat masuk sampi batas kerongkongannya. Airmaniku bercampur dengan airludahnya dan akibatnya aku terdorong semakin maju dan refleks kedua tanganku bertopang pada daun jendela kamarnya.

“Hoeekk….”
“Ah!”

Habis semua airmaniku, keterkejutanku, kenikmatanku. Aku terdiam manakala aku mulai tenang, mbak Srini sedikit manarik keluar tongkolku sehingga hanya bagian kepalanya yang masih berada dalam mulutnya. Lalu tongkolku terkulai lemas dan mbak Srini bangkit menghadapku.
“Hayoo, tadi ngintip aku ya?” Katanya pelan, sementara hujan masih deras mengguyur dan gelegar guntur bersahut-sahutan membuat siapapun pada malam itu nyaris keluar rumah kecuali aku, mungkin he…he…

Aku hanya meringis mengagguk, tampak airmaniku masih melelh di bibirnya dan sebagian aku muncratkan di kaos yang dipakainya, tampak putingnya menyembul dari kaos tanpa lengan berwarna hijau kesukaannya. Otak laki-lakiku bekerja dengan cepat memberikan informasi kepadaku bahwa perempuan itu memerlukan pemuasan birahi walau tadi dia sudah melakukannya sendiri.

Cepat aku raih tengkuknya dan aku lumat bibirnya,
“Mmpphhh….hhh…hh…”
“Heekkkh…hhh…”
Mbak Srini tidak kuasa menolah, dengan tinggi hanya 155 cm membuatnya terdongak dari balik jendela.
“Mmmppphhh…”
“Hhhmmmppp…”

Kali ini mbak Srini yang berpegangan pada tepian jendela dengan kedua tangannya, asyik buah dadanya yang tidak mengenakan beha tampak bergetar-getar dangan putingnya menyembul, mengundang belaian.
“Hhhh…”
“Hhmm…”

Tentunya dengan mudah kedua tanganku menggerayanginya dan menyusupkan kebalik kaosnya. Mbak Srini terpejam. Kali ini payudara yang aku pegang berbeda dengan milik Lasmi, payudara seorang perempuan dewasa sednagkan Lasmi yang beberapa kali sudah aku setubuhi seorang perempuan remaja yang baru mulai tumbuh dan tumbuhnya hasil karbitan karena belum saatnya sudah merasakan tubuh seorang laki-laki menidurinya.

Payudara mbak Srini memiliki putting panjang dan keras, payudaranya tidak bundar seperti punya Lasmi tapi lonjong, tentunya duakali lebih besar dari punya Lasmi. Ah, ternyata payudara perempuan berlainan, aku kira sama. Seperti tongkol, setiap laki-laki berbeda. Sedangkan aku termasuk yang normal untuk ukuran Asia dengan tinggi badan 170 berat 60 anda bisa membayangkan berapa ukuran tongkolku semestinya, tidak usah aku sebutkan kebanyakan orang menulis dengan menyebut ukuran yang sangat luar biasa.

“Masuk yuk,” bisiknya lirih dan aku langsung meloncat masuk dan mbak Srini menutup jendela kamarnya sementara hujan masih deras mengguyur. Aku melepas sarung, celana dalam dan kaos yang aku pakai. Diterangi oleh cahaya lampu 5 watt tampak dari kaca almari tubuhku yang bugil dengan tongkol yang ‘ereksi’ habis.

Mbak Srini tersenyum sambil membuka kaosnya, ah sepasang payudaranya menggantung dengan putingnya yang coklat kehitama menjulang keatas. Menarik turun roknya sehingga dia sudah berbugil ria, bagian selangkangangannya ditumbuhi rambut yang hitam pekat. Berjalan pelan menghampiriku, berdiri disamping dimana aku duduk ditepian ranjang.

Mbak Srini terlihat tersenyum didalam cermin, memandang kearahku. Aku tidak melihat soal cantik atau tidak, kenyataannya dia memang tidak cantik tapi dalam keadaan bugil, wow itu urusan lain. Lalu dia ikut duduk disampingku, masih tetap tersenyum memandang ke cermin, kearahku dan meraih batang tongkolku.

“Tuh, panjang,” seraya melirikku.
“Tadi sudah dicoba,” sambil aku melingkarkan tangan kananku kepundaknya.
“Ih, kamu nakal,” dia menyebut namaku.
“Kenyotan mbak Srini hebat deh,” sambil tangan kiriku mengusap lembut payudaranya. Tampak di cermin dia tersenyum memandangku.
“Pasti, pasti aku kenyot lagi punya kamu,” sambil menyebut namaku, “sampai kamu puas.”
“Kalau sekarang punya kamu gantian aku nyot, mau?”
“Mau sekali, sayang…”

Lalu mbak Srini naik keatas ranjang dan bersandar menggunakan bantal ketepian ranjang, melipat kedua kakinya, dan membuka lebar-lebar. Tersenyum manakala aku beranjak kearah selangkangannya. Tempiknya membuka lebar, hitam kemerahan dan dengan kedua tangannya dia menyibakkan rambut tempiknya yang demikian lebat.

Basah saat aku dekatkan wajahku, aroma khas tempiknya menyergap hidungku beda dengan milik Lasmi sebagai perempuan dewasa mbak Srini tentunya lebih berpengalaman merawat kelaminya.

Beda dengan punya Lasmi, tempik Lasmi masih halus ditumbuhi sedikit rambut baru sedangkan milik mbak Srini di tepiannya sudah lebat ditumbuhi rambut membuat malam itu aku ingin menikmatinya. Aku mulai mencium belahan bagian atasnya, menjilati berlahan klentitnya, setelah beberapa kali aku melakukannya pada Lasmi membuat lidahku sudah terampil.

“Sssttt…tt…t…”
“Hhhh…hh…h…”

Mbak Srini mendesah, memandang apa keselangkangannya dan mengusap rambutku dengan kedua tangannya, seolah-olah kami sudah lama menjadi sepasang kekasih dia memperlakukan aku dengan lembut. Dengan kedua kaki terpentang lebar, sesekali mbak Srini menggoyang-goyangkan selangkangannya, mengarahkan sesuai dengan bagian mana aku menjilati tempiknya dan beberapa kali dia mengarahkan dengan menggeser rahangku dimana dia meminta bagian yang perlu dijilati.

“Turun sedikit,”
“Yah, aahhh…hh…h…”

Mbak Srini bergetar dengan kedua kaki mengejang saat aku menjepit dengan kedua bibirku klentitnya, menyedotnya dengan kuat dan menggesek menggunakan ujung lidahku.

“Aakhhh…hh…h…”

Kedua tangan mbak Srini meremas kain sprei dan membusungkan dadanya keatas, menumpangkan kedua kakinya keatas pundakku lalu mengatupkkan sepasang pahanya mengakibatkan kepalaku terbenam dan membuatku sulit bernapas hanya terdengar suara kecepok…kecepok…kecepok… mulutku yang mengenyot tempiknya.

Tiba-tiba,
“Masukkan sayang, aku sudah enggak tahan,”

Mbak Srini meraih pundakku, memintaku naik untuk menidurinya. Dengan tangan kirinya dia meraih tongkolku yang sedari tadi sudah ngaceng, mengarahkan ketempiknya, kelobang vaginanya dan tangan kanannya menekan pantatku,

‘Blesss…’
“Aahhh…”

Aku hanya mengikut seperti kerbau di cucuk moncongnya, hangat, basah dan kenceng saat tongkolku sampai ke dasarnya. Menekuk kedua kakinya dengan tumit ditarik keatas, mengimbangi sodokokanku ke liang senggamanya, mengelus punggungku dan memandangku penuh senyum. Wajahku tegang dengan bertopang pada kedua tanganku wajahku memerah dengan semua ototnya menyembul keluar, napasku tersengal-sengal.

“Tidak usah tegang dong sayang, santai saja. Biar tongkol kamu saja yang tetap tegang yah…”
“Habis enak sekali sih,” aku tekan pantatku sambil memejamkan mata keenakan tentunya.
“Tuh khan, enthotanmu kenceng,” menaikkan wajahnya dan mengecup bibirku dengan bergantung pada punggungku,
“Ngganjel tuh kepala konthol, kenceng banget.”
“Enak?”
“Tentu dong…” katanya manja.
“Kalau begini bagaimana?”

Aku tekan pantatku dan aku goyang sambil menyodok.
“Auw…!”
“Gimana?”
“Jangan berhenti,” mbak Srini mencengkeram pantatku dan diapula meliuk-liuk mengimbangi irama samba yang aku peragakan. Memasuki fase kenikmatan birahi, busyet kenceng banget jepitannya sehingga membuatku sangat-sangat sulit bergerak. Kontholku terbelenggu didalam tempiknya, terjepit vagina yang berlendir, hangat.

Keceplok…keceplok…keceplok…sambil menggigit pundakku kuat-kuat, mbak Srini histeris dengan mencengkeram pundakku,
“Hhhmmmppphhhh….”
“Mmmppphhh….”

Kelamin kami beradu kuat, saling menggesek,s aling mengent*t. Derasnya hujan sepanjang malam itu mengimbangi keliaran mbak Srini, ups sangat luar biasa, dia binal bagaikan seekor banteng. Tulangku serasa mau lepas semua, entah berapa kali dia melakukan gigitan buas di dadaku dan cengkraman-cengkraman.

Plok…plok…keceplok…lalu mbak Srini terlonjak dengan kepala menegadah keatas.
“Aaahhh…!”

Diiringi aku yang dengan sekuat tenaga menggoyang pantatku dalam dekapannya, napasku serasa habis dan jantungku serasa mau meloncat tapi airmaniku minta dikeluarkan alias aku sudah sangat birahi banget.
“Heekkk….”

Seluruh otot wajahku menyembul keluar dan aku peluk erat lehernya, aku benamkan wajahku di lehernya balas aku gigit leher belakangnya dan dadaku sesak menindih payudaranya. Bersamaan dengan gelegar guntur dilangit aku melepas airmaniku.

“Aaahhh…hh…h…!”
Crrooot…crrooottt…crroott…ttt… aku semburkan kuat-kuat airmaniku, membasahi semua liang vaginanya dan sebagian meleleh keluar.
“Ahhhh.....!”

Kami berdua berguling terlentang, menatap langit-langit dan sesekali guntur menggelegar dan curah hujan sudah tidak sederas tadi. Terimakasih kepada kontholku dimana hari ini dia melakukan kerjasama yang sangat baik padaku, bekerja keras memuaskan nafsu birahiku. Pagi tadi sudah mengent*t Lasmi sebelum berangkat sekolah, petangnya saat orangtua dan adiknya pergi kondangan dia memberiku isyarat agar aku masuk kedalam kamarnya dan aku ent*t Lasmi dua kali. Eh, malamnya bagaikan dapat durian runtuh dua kali airmaniku muncrat oleh mbak Srini.

“Puas,” bisiknya ditelingaku.
“Sangat, sangat sekali nih kontholku sampe teler”

Diraihnya kontholku yang lemas tak bertenaga, berkilatan diterpa cahaya lampu yang berlumuran airmani bercampur lendir birahinya.

“Hik…hik…hik…perkasa banget kamu sayang”
“Sekarang mbak Srini tidak usah pake pisang di kondomi loh,” aku meraih payudaranya yang menggantung di
sampingku.
“Tapi kamu harus tetap sayang aku dong,” dia tersenyum dan mendekatkan bibirnya ke bibirku.
“He-eh”
“Kamu boleh kok melakukannya sepuasnya, kapanpun kamu mau. Tapi jangan sampai ketahuan temen-temen khan entar enggak enak.”
“Hmm kenapa?”
“Malu”
“Asyik khan ditonton seperti lihat film porno.”
“Ih, kamu nakal ah”

Dia merapatkan tubuhnya sehingga putting payudaranya menempel di dekat bibirku dan aku tolehkan wajahku meraup putingnya.

“Mau lagi sayang? Masih kuat, tuh tongkol sudah tidak bergerak-gerak,” mengusap tongkolku dengan lembut.

Coba dari pagi sang tongkol tidak berkerja keras akan aku sambut tantangannya. Tapi apa mau di kata, maksud hati memeluk gunung apa daya tongkol sudah KO. Aku hendak kembali kekamar tapi mbak Srini mencegahku, memelukku dan akupun tertidur dalam dekapannya dengan telanjang bulat. Menjelang subuh aku mengendap-endap kembali kekamarku dengan sebelumnya sudah memberikan jatah pagi pada mbak Srini yang selalu minta di ent*t lagi sebelum aku pergi, serangan fajar kata orang-orang pejuang dahulu.

Sekarang aku punya jadual kegiatan sangat padat, Sulasmi tentu tidak mau lepas dari ent*tanku karena dia pacarku walau kami jarang sekali jalan bareng. Aku emoh, sebab dia bukan typeku. ent*t yes, jalan no. Berbagai alasan aku utarakan dan dia he…he… dasar bego, mau menerima saja. Sedang mbak Srini, ini juga jauh dari seleraku. Tapi soal asah pedang alias ent*t sih sah-sah saja.Selama ini kami kami tidak pernah bilang cinta, paling-paling aku sayang kamu. Berbeda dengan Lasmi, keseharian mbak Srini sekarang sangat jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Mbak Srini selalu berusaha tampil fresh dan cantik di hadapanku, kalau dahulu pulang mengajar langsung mengenakan daster dan santai sekarang beda. Pulang langsung mandi, rambut keteknya di cukur habis, memakai parfum wangi, tampil rapi dengan hiasan bedak tipis dan berusaha memancing gairahku dengan hanya mengenakan kaos tanpa lengan. Beha yang dipakainya selalu kontras dengan kaos buntungnya. Mas Prayit sering menggodanya, dia akan berbinar-binar bilamana ada aku disitu.

Jam menunjukkan pukul 4.15 saat aku melompat dari kamar mbak Srini, biasa sebelum aku tinggal mbak Srini minta di ent*t sebagai hukum wajib. Padahal semalam sudah tiga kali aku ‘ngecrot’ sedangkan dia sampai lima kali. Dengan gontai aku mengendap-endap masuk kedalam kamar dan aku lihat tubuhku telanjang didepan kaca penuh dengan gigitan birahinya.

tongkolku serasa ngilu saat aku rebahkan badanku keranjang dan lelap sebentar. Aku biarkan tubuhku terlentang telanjang bulat. Jam 6.15 aku terbangun, mempersiapkan buku pelajaran lalu aku mandi. Segar sekali, badanku yang pegal-pegal telah bugar kembali. Rasa ngilu di tongkolku sudah tidak aku rasakan.

Mbak Srini sudah hendak berangkat ketika dia membuka pintu kamarku, sementara aku tengah telanjang. Menoleh keluar sejenak lalu masuk.
“Aku berangkat sayang”
“Yah,” aku tersenyum. Dia kemudian meraih tongkolku, mengusapnya, kemudian memberikan kecupan di kepalanya.
“Luar biasa, aku selalu kangen dengan ini. Membuatku ketagihan,” kecupannya berubah menjadi kenyotan, coba seandainya mbak Srini tidak segera berangkat pasti tongkolku dibuat ereksi lagi dan akan aku ent*t apalagi badanku sudah bugar. Mengecup bibirku sambil mengurut tongkolku yang mulai bereaksi,
“Ih, nakal sudah mau bangun lagi, entar sayang yah…” Lalu beranjak pergi dimana sebelumnya meminta aku menyentuh payudaranya yang kenyal tersembul dari balik seragam gurunya.

Aku melangkah keluar saat ditempat biasa Lasmi sudah menungguku, dikerimbunan tanaman Mahkotadewa dia tampak rapi dibalut seragam putih birunya. Pekan ini usai ujian semester ganjil, sekolahku mengadakan class meeting dan sekolah Lasmi mengadakan pentas seni.

“Hari ini ada pelajaran?”
“Ya tidak ada dong.”

Lasmi hanya diam tidak bergerak saat aku merapatkan tubuhku duduk disampingnya.

“Iya, ya ada pentas seni dan class meeting yah?”
“He-eh,” dia mengiyakan sambil tangannya balas menggenggam tangan kananku.

Diam dan memutar sedikit wajahnya kekiri saat aku mendekatkan bibirku dan mengecupnya. Meraih pundaknya dengan tangan kiriku, menarik lembut sehingga badannya sedikit memutar kearahku.

“Hhhmmmppp….”

Desah napas hangat napas kami saling beradu sesaat Lasmi membuka mulutnya. Aku menjulurkan lidahku, memilin lidahnya dan gemertak gigi kami beradu saat aku tekan tengkuknya merapat kearahku. Lasmi terdiam pasrah.

“Dirumah saja yuk,” dia meraih tanganku menarik masuk kedalam rumahnya.
“Pintunya di kunci,” pinta Lasmi.

Aku menutup pintu serta menguncinya dan Lasmi sudah beranjak masuk kedalam kamarnya. Aku mengikutinya dan tampak Lasmi sudah terlentang diatas ranjang, buah dadanya yang mungil menyembul di balik seragamnya, memandang kearahku dangan mesra dan sorot matanya telah membara. Aku membuka baju seragamku, aku lemparkan keatas meja belajarnya. Lalu celana panjang abu-abuku aku buka sekalian dan aku sisakan celana dalam saja. tongkolku menonjol dan mulai ‘ereksi’, pagi ini dia akan bekerja lagi padahal dari semelam sudah bekerja lima kali.

Aku menghampiri Lasmi yang telah berani memandang kearah tongkolku yang menyembul tersembunyi di balik celana dalamku, sambil membuka satu persatu kancing baju seragamnya aku mengecupnya dengan lembut. Lasmi kembali membuka mulutnya. Aku dapatkan payudaranya dengan beha membusung, setengahnya milik mbak Srini. Ah, biarlah bukan hal mutlak. Dengan kait beha di bagian depan memudahkan aku membukanya, aku sibak dan aku rasakan kemulusan dan kehangatan Lasmi.

“Hhh!”

Lasmi menggeliat pelan saat bibirku beralih kepayudaranya, mengusap, memilin dengan bibirku. Sementara tangan kananku mengusap-usap lembut dan bagian depan selangkanganku yang memuat tongkolku menekan bagian bawah perutnya.

“Lepas sayang, nanti kusut,” dia beranjak dan melepas seragamnya. Aku membantunya melepas dan ketika sudah semua terlepas dan Lasmi telanjang bulat dia meraih celana dalamku.
“Dilepas juga dong, curang ah…!”

Lalu merebahkan dirinya, aku melepas celana dalamku dan tongkolku sudah ereksi diraih oleh tangan Lasmi. Padahal tubuhku banyak membekas merah bercampur biru, mana yang hasil perbuatan mbak Srini dan mana hasil perbuatan Lasmi aku tidak tahu. Aku pertama kali mengajari Lasmi membuat ‘cupang’-an saat aku paksa dia mencoba melakukan oral seks.

Ceritanya waktu belajar privat buat cupangan itu hari minggu, orangtua dan adiknya ke luar kota, aku samperi dia dirumah. Singkat cerita aku sudah telanjang bulat, diatas sofa ruang belakang, aku minta dia mencoba menggigit kulitku dengan pelan, menyedotnya, memutar-mutar lidahnya. Awalnya sih perih bercampur geli. Satu-dua kali dia mencoba dan lama-lama enak, kalau aku hitung waktu itu ada 15 cupangan. Sungguh, hampir setiap hari badanku penuh cupangan dari Lasmi maupun mbak Srini tapi ada keuntungannya yakni mereka berdua tidak tahu bahwa itu adalah hasil perbuatan dua orang, jadi aku nikmati saja. Dan pelajaran kedua yakni mencoba mengenyot kontholku, ini juga luar biasa. Kaku, jengah saat dia pertama kali memasukkan kontholku ke dalam mulutnya. Lucu katanya. Aneh, besar dan berkedut-kedut demikian dia mengistilahkannya. Sambil menyeringai tongkolku digenggam dengan kedua tangannya sehingga bagian kepalanya menyembul besar kemerahan seperti jamur. Bagian ujungnya mengeluarkan lendir birahi lalu Lasmi menempelkan ujung lidahnya kebagian yang berlendir dan menjilatinya memutar.
‘Ouww’, geli bercampur nikmat. Kelak saat kami ber-ent*t session inilah yang paling dinikmati oleh Lasmi sebelum kami melakukan persetubuhan yang sebenarnya. Dia amat menyukai tongkolku ber-‘kedut-kedut’ dalam genggamannya saat aku kegelian sampai tongkolku memerah. Dia menikmati saat urat-urat tubuhku menyembul, mukaku memerah menahan nikmat, urat tongkolku menyembul dengan kepala tongkol merah mengeras. Itulah saat kali pertama dia belajar variasi sex dan untuk pelajaran ini Lasmi menunjukkan kelasnya sebagai gadis yang cerdas entah kalau Mas Phytagoras memberikan teorinya pastilah Lasmi otaknya bebel.

Aku merayap turun keselangkangannya, rambutnya sudah mulai banyak dan tidak beraturan. Lembab dan basah, aroma sabun mandi masih segar terasa. Wangi dan berbau khas, kali ini belum pesing soalnya baru selesai mandi dan tampaknya memakai celana dalam baru.

Lasmi menggeliat dan mulutnya lirih dengan tangan tergenggam saat klentitnya langsung aku kenyot. Aku sibak pelan kedua kakinya dengan menekuk keatas. Lobang memiawnya sudak mengalir lendir dan tidak aku sentuh untuk membiarkan semakin basah.

Aku lirik keatas, dadanya naik turun, kepalanya menggeleng kekanan dan kekiri. Tangannya tetap tergenggam dan kedua kakinya bergetar-getar dan sesekali menjepit kepalaku seandainya tidak aku tahan dengan kedua tanganku.

“Sini dong…” pintanya lirih dengan mata sayu.

Lasmi beranjak bangun dan menarik pantatku kearahnya, aku arahkan tongkolku dan menyambutnya langsung tanpa variasi mengenyot seperti anak kecil mengenyot es lilin tapi lumayan sudah belajar privat soal sex, ini dia kelasnya sebagai anak gadis yang cerdas.

Kami berposisi 69, kontan aku melenguh kegelian, digenggamnya tongkolku dengan tangannya, mengenyot kepala tongkolku. Rentang waktu hampir setahun membuat perasaan sungkan dan malu lambat laun mulai mengikis. Sementara mbak Srini mulai masuk pula dalam pelukanku. Inilah namanya nasib baik berpihak kepadaku.

Kenikmatan Lasmi saat lidahku bermain-main di klentitnya tampak bila dia mengenyot kuat-kuat tongkolku. Sudah menjadi kebiasaannya membuka kedua belah kakinya lebar-lebar dan tidak menjepitnya ketika pertama kali aku menjilat klentitnya.

‘Nyoot, nyroot, mpppp…ah…’ Suara serotan dari kenyotan Lasmi dengan kedua kakiku terpentang lebar dan aku semakin ikut mengenyot lobang vaginanya.Lasmi mengusap-usap rambut selangkanganku, merayap turun ke pelirnya. Berbeda dengan mbak Srini yang wow, mahir dan penuh perasaan. Membuat tongkolku berkedut-kedut menahan hentakan birahi, sedangkan Lasmi walau masih terasa kaku toh aku menyukainya, jam terbangnya belum banyak perlu praktek terus menerus, toh dia anak yang cerdas. Yang terutama, aku memperoleh keperawanan Lasmi sedangkan dari mbak Srini aku merupakan laki-laki yang ketiga setelah laki-laki yang pertama anak bapak kosku menodainya, laki-laki kedua juga melakukan hal yang sama dan aku yang ketiga sedang dalam pelukannya, lumayan gratisan dengan bermodal rayuan gombal. Duh, jahat banget yah aku…Tempik Lasmi sudah membanjir, tampak kelaminya berkilatan. Membengkak tanda semakin birahi.

“Aahhh….”
“Srrrppp…hhh…”

Lalu aku berbalik, Lasmi tersenyum dengan tangannya mengusap bibirku yang bercelemotan airliur bercampur lendir tempiknya. Bleeesss…tongkolku langsung masuk ke vaginanya tanpa perlu bimbingan tanganku. Seluruh selangkangannya sudah berlumuran lendir apalagi tongkolku sudah basah akibat klomotan mulut Lasmi.

“Hhh…hh…”

Lasmi berani memandang dan membelai rambutku saat pantatku aku tekan dan dadaku mulai merapat menindih payudaranya. Aku lihat pancaran cinta dan birahi di mata Lasmi. Bersemu merah rona wajahnya saat mata kami saling beradu pandang. Mengangkat kedua tumitnya keatas, lalu kakinya menumpang di atas pinggulku.

“Aku suka, aku mau sayang…” ujarnya lirih tanpa sungkan dan malu, sambil memejamkan matanya dia mendongak, memperlihatkan lehernya untuk mempersilahkan aku mencumbunya. Aku langsung menerkamnya, kedua tangannya terentang keatas, di bagian bawah ketiaknya mulutku bermain-main sambil pelan aku mulai menaik-turunkan pantatku sementara kedua tanganku menopang dadaku yang sesekali bersentuhan dengan kekenyalan dari kelembutan payudaranya yang putingnya mulai tumbuh dan mengeras. Kepala Lasmi menengadah dengan mata terpejam dan mulut menganga dan deru napas yang menandakan dia pasrah untuk diapa-apakan.

“Ah-ah-ah-hhh…” aku menggenjot pantatku dimana tongkolku sudah leluasa keluar-masuk dan bergesekan dengan vaginanya yang sudah berlendir, basah luar biasa.
“Hhh…hhh…hh…”
“Hhhmmmppp…”

Ciumanku bergerilya dibagian ketiaknya yang tampak berbulu halus sekali dan naik berputar-putar di sekitar payudaranya. Puas kemudian merambat ke bagian belakang telinganya. Aku terus mengusap-usap belakang lehernya dengan hidung dan mulutku, memberikan gigitan mesra berupa cupangan. Membekas merah, toh nanti tertutup rambu sehingga tidak kelihatan.
“Sssttthhh…”

Lasmi merintih lirih sekali, tubuhnya menggigil, bulu kuduknya meremang, mulutnya semakin menganga dan deru napasnya sudah tidak karu-karuan. Dia mau, sungguh dia sangat mau, rasa malu sudah sirna sama sekali. Kini tidak ada batasan diantara kami. Buktinya, Lasmi membuka lebar kakinya. Mengangkat keatas dan mengambang, tumitnya kini menempel pada kedua pundakku.
‘Ceplik-ceplik-ceplik,’ demikian suara kelamin kami beradu. tongkolku yang berbandul besar mengosek-ngosek, membuat Lasmi semakin tidak sadar seolah-olah terbang sangat tinggi dan tinggi sekali. Tiba-tiba, membuka kedua matanya dan mencari-cari mulutku. Mencengkeram tengkukku dan menarik kemulutnya lalu membekap mulutku dengan mulutnya.

“Hhhmmmppphhh…!”

Napasnya terasa sangat memburu menerpa hidungku dengan aku melesatkan maju-mundur tongkolku yang semakin terasa licin di vaginanya. Clik-clok-clik-clok-clik…, kreet-kreet-kreet kolaborasi antara gesekan kelamin dan derit ranjang, sungguh lucu suara yang ditimbulkan kalau disimak dengan seksama.

“Aaahhhh…!!!”
“Hek-hek-hek-heeekkk…kkk…kk…hhh..hh…!”
‘Croot-croot-croot-croot…’
“Ahhh…hhh…hh…!”

Aku ambruk keatas tubuh Lasmi yang menyambutku dengan pelukan walau kami bersimpah keringat. Mengapitkan kembali kedua kakinya keatas pinggulku, membiarkan tongkolku terus menghujam didalam. Airmani meleleh keluar dari liang vaginanya, membasahi kain sprei berwarna biru laut yang sudah acak-acakan.

Kami saling berpagutan, berciuman hangat, saling memilin lidah kami, aku meremas payudaranya dengan tangan kananku. Jarum jam terus merangkak naik, tapi sepertinya kami tidak lagi perduli. Toh, kami sudah menyelesaikan ujian semester kami, kesibukan belajar mengurangi gairah kami. Dan sekarang, Lasmi ingin menumpahkan semua kekangenannya yang terpendam. Melupakan harkat kewanitaannya, kehormatannya sebagai wanita, semuanya terpupus habis.

Kami saling berciuman lama sekali, tongkolku masih keras tertancap di vaginanya. Kami saling memandang, bertatapan dalam jarak yang sangat dekat sekali. Masih ada bara api birahi didalam matanya, itu aku ketahui dengan dia tidak melepaskan dekapannya. Tidak melepaskan mulutku yang memagutnya, justru membalas memagut. Sementara dengan pelan aku naik-turunkan pantatku, tongkolku berlahan-lahan keluar masuk secara berlahan.

Lasmi menatapku tegang, semakin kencang dia memelukku tapi tidak sekuat yang pertama. Desah panas napasnya terasa betul diujung hidungku. Lalu mulutnya diam tapi desah napasnya mulai memburu, semakin lama semakin cepat. Goyanganku tetap konstan, berlahan, naik-turun.Liang memiawnya yang sudah penuh dengan airmani menimbulkan suara yang makin keras, ceplok-ceplok-ceplok sudah tidak aku pedulikan toh tongkolku masih menghujam didalamnya walau terasa ngilu-nglu enak.

“Ahhh…!”
Ternyata dia orgasme untuk yang kedua kalinya.
“Jangan…” pintaku saat dia hendak merenggangkan pelukannya. Dia tetap menatapku dan aku menatapnya penuh ketegangan. tongkolku menyiratkan akan mengeluarkan hentakan airmani yang kedua. Lasmi sudah mulai paham sampai pada level ini, gadis cerdas.
Aku susupkan wajahku ke lehernya, memeluknya erat, menindih payudaranya yang kenyal dan aku tekan dalam-dalam selangkanganku sehingga selangkangan kami merapat dan tongkolku yang tidak sekencang ereksi tadi berdenyut pelan.
‘Serrr-serrr-serrr-serrr…’
“Hhh…!”

Jantungku serasa mau copot saat aku sampai kepuncak, semburan airmaniku juga tidak sekuat tadi, aku tetap menggoyang naik-turun pelan supaya tongkolku jangan sampai terlepas karena sudah lemah tapi masih mampu menancap. Lasmi sedikit mengrenyitkan dahinya, tempiknya ternyata sudah merasa perih dan panas. tongkolkupun demikian, langsung terkulai dan ‘PLOP’ terlepas sendiri dari vaginanya.

“Capai…?,” Kataku saat aku membantunya membersihkan ceceran airmaniku di selangkangannya.
“Sedikit,” katanya sambil membantuku juga membersihkan lelehan airmani di batang tongkolku. tongkolku tampak
berkilat-kilat dan aku duduk terlentang sementara Lasmi dengan lemah lembut membersihkan dengan saputangan miliknya. Menggenggamnya saat sudah bersih dan memberikan kecupan dikepala tongkolku. Lalu kami berbenah dan jam menunjukkan angka 9 pagi saat Lasmi beranjak pergi dengan sepedanya, mengayuhnya dengan pelan dan lunglai tapi matanya terpancar sorot kebahagiaan sedang aku kongko-kongko di emperan sebuah toko kacamata diujung gang rumah kosku menunggu angkutan.

No comments:

Post a Comment